Tuesday, January 28, 2014

Mendakilah TAPI JANGAN Cari MATI

foto from Google
Mendaki gunung itu memang menyenangkan, tapi kalau ”banyak yang mati” itu sangat menyedihkan. Demam mendaki ramai lagi di kalangan anak muda sekarang. Entah sekedar ikut trend atau memang panggilan hati. Kini semua orang bisa mendaki gunung, tapi [sayang] tak semuanya bisa pulang dengan selamat.
Jangan jejali otak kita dengan pendapat subyektif orang yang ngawur tentang sebuah gunung. Ingatlah! Mereka beruntung tapi belum tentu dengan kita. Mereka merasa gampang mendakinya, tapi belum tentu dengan kita. Sebab kita memang punya pengetahuan dan persiapan yang berbeda, sekaligus takdir masing-masing. Jangan termakan istilah,”gunung mudah, gunung wisata, gunung pendek, anak kecil aja bisa mendakinya, dll” atau pendapat ngawur yang memberikan penilaian sepihak.
Ingat! Gunung tetaplah gunung. Tak gampang untuk diklasifikasikan kelas berat atau kelas ringan. Soal grade itu relatif. Bukan pula soal ketinggian mdpl-nya. Tapi semua bergantung pada situasi dan kondisi cuaca yang dihadapi, serta skill dan stamina yang kita miliki saat itu. Ada pendaki yang begitu jago saat berada di 8.000-an, tapi kemudian malah tewas di gunung 5.000-an. Bahkan ada yang tewas saat mendaki ulang untuk yang kesekian kalinya. Jangan juga menjadi lebay mengaku jadi pendaki sejati yang [kalo bisa] milih mati di gunung. Pendaki gunung sejati itu [kalo bisa] kepingin hidup terus, agar bisa terus mendaki puncak-puncak gunung lainnya.
Jangankan kita yang masih [mohon maaf] jarang-jarang mendaki, apa lagi yang belum pernah, berani berangkat mendaki dengan persiapan ala kadar. Mendadak berangkat karena ajakan teman. Sebagai contoh kasus, mereka yang dikenal jago di gunung saja bisa mati. Sebut saja Norman Edwin, Didiek Samsu, mereka tewas di Aconcagua, 1992. Lalu pendaki legend dunia, sebut saja George L. Mallory [tewas di Everest, 1924], Peter Boardman [Everest, 1982], Jerzy Kukuczka [Lhotse, 1989], Wanda Rutkiewiecz [Khangchengjunga, 1992]. Mereka punya prestasi yang mengagumkan dan sudah ‘bulukan’ di angka 8000-an. Mereka dikenal punya perhitungan yang matang dan berpengalaman. Tapi semuanya tewas di gunung? Tewas di arena biasa mereka bermain dan lakoni. Apa lagi Jerzy yang sudah mengantungi ke-14 Gunung Kematian.
Begitu juga dengan tragedi Everest 1996, yang merenggut guide-guide berkelas dunia seperti Scott Fischer [USA] dan Rob Hall [Selandia Baru]. Juga Anatoly Boukreev, asal Rusia, yang dianggap sebagai pahlawan berjuluk the Ghost of Everest yang berhasil menyelamatkan beberapa pendaki di peristiwa tragedi itu. Anatoly ini adalah guide dan mentor Indonesian Everest 1997, ia tewas tertimpa avalanche di Anapurnna I, 1997, saat mem-belay Simon Morro, Italia.
Human error pasti selalu ada. Sebab sehebat apa pun manusia, tetap saja memiliki keterbatasan. Kita semua tahu, di tempat ketinggian, terkadang otak sulit diajak berpikir waras. Terkadang mengajak kita bertindak di luar sadar, malah konyol dan sembrono. Terkadang sulit untuk mengambil keputusan. Memutuskan terus mendaki lebih gampang ketimbang memutuskan mundur dan kembali. Entah memang ego ketololan atau memang pengaruh alasan klasik; sudah keluar biaya, waktu dan tenaga. Atau memang sudah kena sindrom Ullysses atau Odysseus, tapi tetap tidak untuk mencintai kematian [amor fati].
Jika dianalogikan mendaki gunung itu bagai belati dua sisi. Bisa memberi pelajaran yang menguntungkan, sekaligus kerugian yang mematikan. Jika kita tak mampu memajemennya. Sebab kita memang berada di antara bahaya subyek dan obyek. Keduanya selalu mengintai bila kita tak memiliki persiapan yang baik. Padahal semua itu masalah teknis yang bisa kita manajemen dengan ilmu. Baik pengetahuan, mental-fisik dan peralatan. Jika semua telah dipersiapkan dengan baik, barulah kita bicara soal nasib dan takdir.
Pahamilah, di saat dengan sadar kita "menjerumuskan" diri untuk mendaki gunung, kita pun harus sadar dengan segala resikonya. Pendaki mana pun, selalu berada di batas nuansa antara cerah dan badai, berhasil dan gagal, selamat dan maut, jiwalah yang dipertaruhkan. Tapi pendaki yang mendaki gunung tetaplah bukan amor fati yang ingin mencari mati.

Jujur Pada Diri Sendiri
Sepatutnya kita berhati-hati menginterprestasikan petualangan kita. Mari kita jujur pada diri sendiri. 
Sejujurnya kita harus bisa membedakan antara “tak punya” dengan “malas bawa”. Sejujurnya kita harus bisa membedakan antara “demi gaya” dengan “kebutuhan”.
Sejujurnya kita harus bisa membedakan antara “mengakui keterbatasan” dengan “gengsi”. Sejujurnya kita harus bisa membedakan antara “tak tahu” dengan “malas belajar”. Sejujurnya kita harus bisa membedakan antara “kehati-hatian” dengan “ketakutan”. Sejujurnya kita harus bisa membedakan antara “perhitungan” dengan “kecepatan”. Sejujurnya kita harus bisa membedakan antara “kenekatan” dengan “keberanian”. 
Sejujurnya kita harus bisa membedakan antara “kurang pengalaman” dengan “sok tahu”. Sejujurnya kita harus bisa membedakan antara “tak mampu” dengan “memaksakan diri”. Sejujurnya kita harus bisa membedakan antara “mendaki gunung” dengan “bunuh diri”. Sejujurnya kita harus bisa membedakan antara “takdir” dengan “mati konyol”.

Mari kita belajar dari pengalaman kita dan orang lain. Agar kita bisa menggeluti dunia pendakian dengan baik, benar dan aman. Agar kita bisa mengambil hikmah bagi diri sendiri, bermanfaat bagi orang lain dan alam lingkungan sekitar. Berikut cuplikan kisah beberapa dedengkot pendakian yang “harus” melepas kehidupannya di gunung.
[dicuplik dari draft naskah Catatan Kembara Kecil/ Ganezh/2014]

Jerzy Kukuczka
Pendaki Alpen dan Spesialis Himalaya  dari Polandia 1948-1989
Ia adalah orang ke dua—11 bulan setelah Reinhold Messner, Italia—yang berhasil mendaki ke-14 gunung 8.000-an meter. Ia menggenapkan 14th Death Zone itu pada bulan September 1987. Prestasi Jerzy ‘Jurek’ Kukuczka, masuk daftar utama di kebesaran Himalaya, dengan mengantungi prestasi dengan sembilan rute baru di 8.000-ers; Empat pendakian musim dingin; Satu kali melakukan traverse; Satu pendakian solo dan lima dengan Alpine-Style. Mendaki Cho Oyu, 8.201 m dari Muka Tenggara (1985). Ia juga menjadi manusia pertama yang membuka rute baru—pada musim dingin—di Himalaya. Rekan pendakinya, Piotrowsky meninggal ketika membuka sebuah rute baru di K2, 8.611 m. Ia dikenal sebagai pimpinan pendaki yang ramah, tabah dan berkemauan keras. Juga sebagai sosok yang menentang kepercayaan kuno atau mitos. Ia tewas pada tahun 1989, di ketinggian 27.923 kaki, ketika mencoba mendaki Muka Selatan Lhotse, 8.516 m. Gunung yang dianggap sebagai ‘masalah besar’ dan paling diincar para pendaki spesialis Himalaya pada waktu itu. Jerzy digelari Poland’s Man of the Year, setelah ia dan Messner mendapat medali Olympic sebagai penghargaan atas prestasi pendakian mereka. Jerzy meninggalkan seorang isteri dan dua orang anak di Warsawa.

Peter Boardman
Pendaki gunung dari Inggris 1950-1982
Peter lahir tahun 1950. Dia selalu menghargai kepercayaan setempat (mitos) di mana pun ia mendaki. Saat mendaki puncak Ghauri Sankar, yang dianggap suci oleh penduduk sekitarnya. Mendaki melalui Rute Barat yang perawan. Uniknya, ia pernah berhenti selangkah dari Puncak Khangchenjunga, 8.586 m, yang dipanjatinya lewat rute perawan Punggung Utara, tanpa bantuan tabung Oksigen! Puncak itu rela tak disentuhnya, demi menghormati kepercayaan masyarakat sherpa.
Peter Boardman adalah pemegang rekor terbanyak untuk pendakian yang punya lintasan sulit dan perawan. Ia orang Inggris pertama yang merintis lima lintasan Alpen. Juga yang membuka lintasan Dinding Utara Kohi Khaaik dan Kohi Mondi di kawasan Hindu Kush. Lantas ia menjelajah ke gunung-gunung Polish High Tratas, Afrika Timur, Kaukasus dan Alaska. Lulusan Sastra Inggris, Universitas Nothingham ini, mencapai Everest pada tahun 1975. Melalui Dinding Barat Daya yang sulit.
Pada tahun 1982, ia sempat bergabung dengan Chris Boningthon menyusuri punggungan Timur Everest. Saat ia berpasangan dengan dengan Joe Tasker, ia di serang badai salju di Sisi Timur Laut Everest dan sejak saat itu juga, keduanya tak pernah terlihat lagi, seolah ditelan oleh salju Himalaya. Ia meninggalkan seorang isteri, Hillary Collins dan sejumlah buku serta rintisan pendakian yang selalu dikenang sepanjang masa.

Wanda Rutkiewicz
Pendaki Wanita dari Polandia …-1992
Pendaki wanita asal Polandia ini menjadi wanita barat pertama yang berhasil mendaki Puncak Everest pada tahun 1978. Di urutan ke tiga setelah Junko Tabei dan dua pendaki wanita RRC, Phantog dan Gui San. Selain Jago mendaki Wanda juga mahir dalam pembuatan film dokumenter pendakian. Ia telah membikin film dokumenter tentang Cerro Torre, 3.426 m (1988) dan Dinding Selatan Aconcagua, 6.950 m (1985), Amerika Selatan. Shisha Pangma, 8.046 m, Cina dan pada 23 Juli 1986, menjadi wania pertama di dunia yang mencapai Puncak Karakoram 2 (K2), 8.611m, Pakistan, gunung tertinggi kedua di dunia. Gunung di atas 8000-an meter yang pernah didakinya adalah:
-   Everest, 8.848 m, Himalaya, Nepal.
-   K2 (Chogari), 8.611 m, Pakistan.
-   Shisha Pangma, 8.046 m, Tibet (1987).
-   Nanga Parbat, 8.125 m, Pakistan (1986).
-   Khangchengjunga, 8.586 m, India-Nepal.
-   Makalu, 8.463 m, Nepal-Tibet (1990).
-   Gasherbrum II, 8.035 m. Pakistan-Cina.
Mendaki Gasherbrum III, 7.952 m, di perbatasan Pakistan dan Cina. Ia juga mendaki Mattherhorn, 4.478 m, Swiss. Pada tahun 1979, Ia mendaki Timur Grand Capucin dan Dinding Barat Petit Dru, Perancis. Dia menjadi orang ke tiga yang berhasil mendaki Nanga Parbat dengan menggunakan taktik Alpine, tanpa pos perantara. Menjadi orang yang pertama mendaki K2 dengan taktik Alpine, tanpa tabung oksigen dan tanpa porter (high altitude porter).
      Selama kiprahnya di dunia pendakian—lebih kurang 30 tahunan—Wanda telah kehilangan lebih dari 30 orang rekan pendaki. Di antaranya, rekan senegaranya Jerzy Kukuczka yang ’mampu’ menyamai rekor Reinhold Messner, yang telah mendaki 14th Dead Zone 8.000 meter ke atas, tragisnya Jerzy tewas di Lhotse, 8.516 m di perbatasan Nepal-Tibet (1989). Dalam 16 minggu pendakiannya ke Puncak K2, ada 13 pendaki yang tewas. Di antaranya adalah sahabat dekatnya dari Polandia juga—sekaligus pasangan suami isteri pendaki—Dobroslawa Miodowicz Wolf dan Wojtek Wroz.
Akhirnya, Wanda Rutkiewicz menutup karir pendakiannya—usia 49 tahun—ketika mendaki Khangchengjunga, 8.586 m, Himalaya, Nepal, pada Mei 1992. Terakhir seorang pendaki asal Mexico, Carlos Carsolio, bertemu dengan Wanda yang ketika itu berada di ketinggian 250 meter dari puncak. Di sanalah ia terakhir dilihat dan sejak itu juga Wanda dinyatakan hilang ketika menjelang puncak Khangchengjunga.

Alex Lowe (...-1999)
Pendaki dari Amerika Serikat
Pendaki asal Salt Lake City, Amerika Serikat, mampu mencapai puncak Aconcagua tiga kali dalam seminggu. Sehingga dijuluki el pullmon con plernas (si paru-paru berkaki). Gunung tertinggi di Benua Amerika Selatan itu pernah didakinya secara  solo. Pertama lewat sebuah jalur baru dekat puncak kecil Ameghino (6.650 m) dalam waktu sehari. Lalu dari basecamp (4.500 m) pulang-pergi. Pada ketinggian 5.300 m Alex mendirikan camp I, lalu meninggalkan perbekalan. Esoknya beberapa pendaki yang menjadi kliennya akan menyangkut perbekalan ke camp I dan turun kembali. Alex akan naik terus hingga mendirikan camp II (6.300 m). Hari ketiga, setelah menyimpan semua barang di camp I, pendaki-pendaki itu dipandunya mengangsur perbekalan ke camp II lalu kembali ke camp I (total 11 jam naik turun). Empat hari kemudian Alex bersama seorang pendaki kliennya mendaki lewat lintasan Polish Glacier Direct sampai ke puncak dan kembali lagi ke camp II. Lusanya Alex kembali lagi, kali ini membawa dua orang klien lagi.
Lebih dari sepuluh tahun Alex adalah anggota kehormatan the North Face. Dua hal yang dicintai dalam hidupnya, menurut dia, adalah keluarga dan gunung-gunung menjulang. Isterinya bernama Jennifer dan ketiga anaknya, Max, Sam dan Isaac. Mereka tinggal di Bozeman, Montana.
Tanggal 5 Oktober 1999, di ketinggian sekitar 8.700 m, terjadi avalanche di Gunung Shishapangma, 8.046 m (Tibet), merenggut nyawa Alex Lowe dan David Bridges, fotografernya. Peristiwa duka itu menggemparkan kalangan pemanjat dan pendaki gunung. Semua merasa kehilangan sosok pemanjat yang berbakat dan berprestasi. Sifatnya sederhana, rendah hati dan penuh rasa persahabatan. Namun sosok itu akan tetap tumbuh dalam hati orang-orang yang mencintai dan mengenalnya. 
[dibocorin dari draft naskah Catatan Kembara Kecil/ Ganezh/2014]

9 comments: